Bukan Mudik! (hari ketiga)


Perjalanan Eksotis Menyusuri Pesisir Banten dan (sedikit) Jawa Barat

3rd Day – Selasa 14 September 2010

Pagi yang cerah, secerah hati ini. Perjalanan sebelumnya menuju Tanjung Lesung memang mengasyikan. Meskipun kami hari ini terdampar di Pandeglang, di sebuah hotel yang mungkin dikategorikan sebagai hotel melati. Hari ini, selasa 14 September 2010, adalah hari masuk kerja pertama bagi PNS dan kebanyakan pegawai BUMN. Beruntung ibuku mengambil cuti, ayahku bekerja di sekolah dan baru masuk tanggal 20 September, kedua adiku masih libur sekolah, dan aku juga seorang mahasiswa.

Kami tinggal di hotel dekat dengan alun-alun kabupaten Pandeglang. Sudah menjadi pakem, kalau tata kota di Indonesia, alun-alun suatu kota atau kabupaten pasti akan berdekatan pula dengan Masjid Agung, kemudian kantor polisi, dan juga kantor walikota atau bupati. Pun demikian dengan Pandeglang. Jika demikian, harusnya jalanan udah rame dengan lalu lalang PNS, tapi pukul tujuh ternyata masih sepi. Haha, syndrome libur lebaran.

Sesuai dengan rencana, kami akan menuju Bandung dengan melewati Rangkasbitung melewati Jasinga, melintasi perkebunan, untuk kemudian tembus ke Cipanas Bogor. Dari Pandeglang menuju Rangkasbitung kira-kira 20 Km menurut orang sana. Entah ukuran km nya seperti apa, karena biasanya ukurannya relatif. Perjalanan sangat lengang. Selain bukan jalur mudik utama, juga mungkin karena masih pagi juga. Belum sampai di Rangkasbitug, tiba-tiba penunjuk jalan menunjukan, lurus Rangkasbitung, dan ke kanan adalah Malingping. Tiba-tiba ayahku menyuruh untuk belok kanan, kemudian bertanya kepada masyarakat setempat, berapa km menuju Malingping. 60 Km. Ayahku kemudian bertanya pada kami semua, mau ke Malingping nggak? Why not! 60 Km jika ditempuh dengan mobil mungkin menghabiskan waktu 1 jam atau paling lama 2 Jam dengan jalanan yang kurang baik.

Malingping, terdengar asing nama daerah ini. Tapi bagi ayahku Malingping punya arti sejarah. Malingping adalah kota dimana pertama kali ayahku ditempatkan sebagai seorang guru setelah lulus kuliah dari UPI dulu, dan telah menjadi PNS. Tahun 1986an ditempatkan di SMAN 1 Malingping. Konon dulu katanya, dari ratusan lulusan UPI dengan strata S1 harus siap untuk ditempatkan di wilayah-wilayah yang ditentukan oleh Diknas. Dan waktu itu Banten dan daerah pedalaman lainnya di Jawa Barat adalah wilayah-wilayah yang kekurangan tenaga pengajar. Bahkan kalau bukan lulusan S1, seperti D1 atau D3 maka harus siap-siap ditempatkan di luar Jawa. Ayahku bercerita bahwa banyak teman seangkatannya ditempatkan di Kalimantan. Tapi kebanyakan ditempatkan di leuwueng Banten.

Takdir bicara lain. Ayahku setelah mendapatkan penempatan di Malingping, masih menunggu beberapa bulan untuk betul-betul mengajar di SMAN 1 Malingping. Menunggu SK diterbitkan. Konon katanya ayahku kemudian mendapat wejangan dari kakak jauhnya itu (yang tinggal di Munjul dan telah menjadi polisi sejak tahun 1980an), kira-kira bunyinya gini, “ulah dicokot mak, omat ulah. Keun weh urang nu didieu mah. Cukup.” . Kakaknya bilang jangan diambil. Wah bimbo ayahku, bimbang bo! Akhirnya setelah diskusi dan diskusi dan diskusi, nggak diambilah penempatannya di Malingping itu. Dulu sih katanya, meskipun ngga diambil, tahun berikutnya atau pada penempatan berikutnya masih bisa dapat penempatan yang baru. Beda ya kalau zaman sekarang, orang-orang susah buat jadi PNS, terlebih menjadi guru. Jelemana geus rea teuing.  Dan pada penempatan berikutnya, ayahku ditempatkan di Parongpong, Bandung Utara. Nah ayahku ini, sejak mendapat berita penempatan di Malingping, beliau belum pernah melihat bagaimana rupa dari sekolahnya itu. Emang selain di pedalaman, dulu juga akses kesana sangat susah. Jadi waktu itu ayahku menunggu resmi keluar SK, baru berencana pergi ke-TKP. Meskipun akhirnya tidak jadi ditempatkan di Malingping.

seperjalanan bersama kebo

Kami putuskan untuk melaju menuju Malingping. Jalanan cukup bagus, meskipun sempit. Kami melewati beberapa perkebunan. Mulai dari karet, kemudian sawit, ada juga kayu (gak tau jenis apa), juga sawah ladang terhampar luas. Masih baik, terawat, dan sangat rapi. Jalanan memang tidak sepenuhnya bagus, masih ada beberapa kilometer yang masih dalam tahap perbaikan. Masih berupa batu-batu siap aspal. Tapi memang infrastruktur lainnya belum mendukung. Lampu jalan belum ada. Marka jalan juga belum ada. Betul memang nggak kebayang, dulu tahun 1985an kayak apa nih daerah, apakah ayahku harus jalan kaki untuk menuju sekolahnya? Jalanan sepi, rumah penduduk pun berkumpul di satu titik dan berjarak kilometer dengan kawasan rumah penduduk lainnya. Kami pun terkadang melaju sendirian, tak ada mobil lain, meskipun motor sudah cukup berlalu lalang. Dan sepanjang perjalanan kami tidak menemui SPBU, hanya kios-kios bensin liar yang ada di beberapa titik. Jadi bagi yang hendak kesini, pastikan cukup bahan bakarnya. Eh tapi jangan khawatir, alfamart dan indomaret udah ada di sini hehe..

lengang

Sangat beralasan, beberapa wilayah yang dahulunya Jawa Barat, ingin melepaskan diri membentuk Provinsi Banten. Disamping Jawa Barat yang terlalu luas, sehingga mekanisme kontrol daerahnya menjadi sulit, juga adalah kekayaan alam banten luar biasa melimpahnya. Pesisir pantai yang panjang, ikan yang melimpah, industri berat yang tersedia, masyarakat yang cukup banyak, dan perkebunan serta sawah ladang yang masih belum terekploitasi. Dan melihat sekaligus melewati Malingping, Banten telah menggeliat untuk berlomba bersama Jawa Barat menjadi partnernya Ibukota.

2 jam perjalanan kami tiba di kecamatan Malingping. Melewati daerah bernama Gunung Kencana, Cileles, CImarga, dll. Lansung to the point saja, dimana sih SMAN 1 Malingping? Dari informasi orang-orang ternyata SMAN 1 Malingping itu bukan di dekat kecamatannya, tapi ada di jalan menuju Bayah. Wah kalau Bayah, berarti udah makin dekat pantai. Pantai lagi. Perjalanan panjang, mulai dari pantai ketemu leuwueng, sekarang ketemu pantai lagi. Akhirnya, tak jauh dari tempat kami bertanya tiba juga di SMAN 1 Malingping. Meskipun lagi libr, ayahku mencoba masuk ke area sekolah. Dan alhamdulillah, ternyata ada guru yang sedang piket. Wah ceritalah panjang lebar ayahku, sekalian istirahat ngalempengkeun tuur.

ayah dan sekolahnya (dulu)

Puas bernostalgia, meskipun dulu belum manjadi realita, tapi ayahku terlihat senang bisa melihat sosok asli dari bagian sejarahnya. Melanjutkan perjalanan, kami tidak memiliki pilihan selain harus menuju Bayah. Karena kembali lagi, berarti balik lagi ke jalan semula ke arah Rangkasbitung. Dan setelah Bayah, berarti pilihannya ada dua, apakah menuju Cikotok (tambang emas) di Sukabumi, atau kah Cisolok di Pelabuhan Ratu. OKe gimana ntar lah, yang penting sampai Bayah dulu. Ternyata betul, jarak SMAN 1 Malingping dengan pantai tidaklah jauh, mungkin hanya 1-2 km. Cihuy, pantai lagi. Menyusuri pantai berarti sudah tiba di Bayah. Dan Bayah ternyata menyajikan banyak pantai yang indah dengan ombak besar. Beberapa pantai bahkan mungkin cukup populer. Sebut saja Sawarna, Bagedur dan pantai pulau manuk. Nice view pokonamah. Konon katanya dulu juga pernah dibuat jalan kereta peninggalan jepang untuk mengangkut batubara menuju Bayah. Dan ternyata di beberapa titik memang ada onggokan bukit kecil batu bara. Kami tidak turun untuk menginjakan kaki di pantai, cukup melihat dari sepanjang perjalanan. Berpuluh kilometer menyusuri Bayah, dan terus menyusuri Pantai.

Kemudian kami tiba di satu titik dimana kami akhirnya harus memutuskan, apakah menuju CIkotok ataukah Cisolok. Ada polisi yang lagi jaga, langsung kami tanya. Ternyata polisinya urang Bandung, urang Baleendah. Dunia memang sempit. Menurut Pak Polisi, lebih baik kita ke arah Pelabuhan Ratu, karena menuju CIkotok kita akan menuju gunung dengan jalanan yang kurang baik. Ditambah lagi bahwa ternyata tambang emas Cikotok sudah ditutup, tinggal yang ada hanyalah penambang liar. Baik. Jarak Bayah ke Cisolok dan sekitarnya adalah 60 km. Berarti jaraknya kira-kira 2 jam perjalanan. Waktu sudah menunjukan tengah hari. Khawatir takut kesorean, kami pamit pada Pak polisi untuk melanjutkan perjalanan. Selamat Bekerja Pak!

Menuju Cisolok, berarti kita akan memotong gunung, tidak menyusuri pantai. Jalanan cukup baik, bahkan sangat baik, meskipun kalau malam hari tampaknya akan sangat gelap gulita karena tiadanya lampu jalan. Meskipun tidak menyusuri pantai, namun ternyata pemandangan yang disuguhkan jadi lebih indah. Kami bisa melihat pantai dan laut dari ketinggian. Subhanallah Allahu Akbar! Gelo, hade pisan euy! Apalagi terus mendekati ke Cisolok. Ada suatu tempat yang orang sana menyebutnya Puncak Habibi. Dari situ terlihat pantai menjorok, dikelilingi daratan, teluk kecil, dan di lautnya terhampar banyak perahu melaut.  Kami rehat sejenak di tempat tersebut, untuk sholat,  kebetulan banyak warung di pinggir jalan menawarkan makanan sekedarnya, dan tentunya pemandangan indah melihat laut dari ketinggian. Di sepanjang jalan memang banyak spanduk dari suatu perusahaan rokok, sebagai welcome greeting bagi para pengendara. Selamat datang di tempat wisata Puncak Habibi. Selamat datang di Cisolok, Selamat datang di Pantai …, dst. Saya mencatat nama-nama pantai yang dilewati pada handphone, namun ternyata lupa untuk di save. Terlepas dari banyaknya pantai, bebreapa kawasan wisata dari mulai Bayah hingga CIsolok dan Pelabuhan Ratu yang cukup terkenal adalah Sawarna, Pulau Manuk, Pantai Cisolok, Kawasan Pantai Pelabuhan Ratu, dan pantai yang disitu ada bangunan hotel yang katanya ada kamar khusus Nyi Roro Kidul (lupa saya nama pantainya).

puncak habibi

Tiba di pelabuhan ratu, saatnya mencari oleh-oleh. Asin Jambal Roti dan tentunya tidak lupa bersantap seafood khas Pelabuhan Ratu. Langsung menuju Tempat Pelelangan Ikan, dan langsung diuber-uber pedagang ikan asongan. Seru juga. Banyak jenis ikan yang ditawarkan dan masih terlihat segar. Mulai dari yang familiar, sampai yang agak aneh menurut saya. Cumi, udang, kakap, kerapu, asin, layur itu udah biasa. Ini ada Ada yang jual anak Hiu. DI tempat pelelangan ikan sudah tidak ada aktivitas jual beli, namun di pasarnya sangat ramai. Bersantap seafood menjadi sajian penutup menutup liburan di pelabuhan ratu. Ditemani oleh berlabuhnya kapal-kapal nelayan untuk bersiap melaut kembali di malam hari.

tempat pelelangan dan pasar ikan

Senja perlahan Menyapa. Tak terasa sudah harus pulang ke Bandung. Pelabuhan Ratu ke Sukabumi berjarak 60 km. Dan Sukabumi hingga ke Bandung kira-kira 80 Km. Dengan demikian estimasi akan tiba pukul 9 malam di Bandung. Sungguh perjalanan panjang yang luar biasa. Kata ayahku, ini adalah perjalanan terpanjang yang pernah dia lakukan dengan mobil sendiri. Pun dengan aku. Jarambah. Tapi puas. Aku tiba-tiba berpikir, seandainya suatu saat nanti, seandainya suatu saat nanti saya ditunjuk jadi menteri, request jadi menteri Pariwisata aja deh hehe. Luar biasa negeriku.

(Tamat)

tower

berlabuh senja

rute hari ke-3